Sabtu, 19 April 2014

Cerpen : Kisah sebuah ornamen cantik

Ya aku adalah ornamen yang cantik, begitulah reaksi orang ketika melihatku. “Aduh cantiknya, berapa harganya ya? Pastinya mahal nih” , itulah kata seorang perempuan muda yang kemarin melewati toko dimana aku dipajang. Aku jadi malu dibuatnya. Andai aku punya pipi pasti sudah merah pipiku itu.
Aku memang ornamen mahal. Ukuranku memang kecil tak lebih dari segenggam kepalan tangan manusia dewasa, akan tetapi nilaiku lebih dari pada ukuranku. Ya kadang ukuran fisik tak selalu jadi patokan. Yang membuatku mahal adalah keunikanku. Setahuku tidak ada yang sama sepertiku. Terimakasih kepada pak pengrajin begitulah aku menyebut pembuatku, telah membuatku menjadi seperti ini.
Tetapi apakah kamu tahu seperti apa aku dulu? Dan bagaimana kejadiannya sampai aku bisa dipajang di toko ini? 
Kisahku bermula dari tempat pemotongan kayu. Awalnya aku adalah seonggok kayu yang terbuang. Aku adalah kayu tersisih, kayu sisa pemotongan yang tak terpakai. Memikirkan bahwa aku adalah kayu yang terbuang, aku menjadi sangat sedih apalagi ketakutan selalu menghantui pikiranku. Akankah  aku dijadikan kayu bakar, dibuat menjadi arang. Setiap hari pastinya aku akan dibakar, “panas...,panas...” jeritku.
Berhari-hari aku berada dalam bak sampah, diabaikan, diacuhkan. Pernah satu hari ada seseorang yang melihat-lihat ke bak sampah. Aku mencoba  tersenyum ramah untuk menarik perhatiannya agar aku diambilnya. Akan tetapi malah bukan aku yang diambilnya, tetapi botol plastik minuman yang diambilnya. Padahal botol itulah yang menemaniku beberapa jam yang lalu. Ia menceritakan bahwa ia tak akan lama di sini. Ia dengan percaya diri mengatakan bahwa dia pasti tidak akan disia-siakan di dalam bak sampah ini. Ia akan didaurulang dan menjadi bersih kembali, begitu katanya. Benar saja apa yang dikatakan benar-benar terjadi. Orang itu hanya peduli pada botol plastik tak peduli sama sekali padaku. Aku kembali sendirian dalam bak sampah ini. Sedih rasanya. Aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan mohon agar diberi kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi cobaan-Nya ini.
Hingga pada suatu ketika aku mendengar ada orang yang bercakap-cakap di luar sana. “Pak, boleh minta kayu sisa, yang tidak terpakai lagi?” , “Coba cari aja di bak sampah” Begitulah percakapan yang terjadi diluar sana. Tiba-tiba ada tangan besar yang mencengkram diriku. Aku kaget mau berontak tak bisa. Di satu sisi aku senang karena ada yang mempedulikanku, akan tetapi di sisi lain aku takut karena jangan-jangan aku akan dijadikan arang untuk membakar sate. Aku akan terus dibakar sampai gosong dan sirna, begitulah rasa was-was menyelimutiku. Oleh tangan besar itu aku dimasukkan ke dalam kantung plastik hitam. Aku mencoba menjerit-jerit tapi tak ada yang mendengarkanku, kemudian aku mencoba meronta-ronta tapi tak bisa. Di dalam kantung itu, aku hanya bisa diam dan pasrah mengikuti alur nasibku ini.
Aku akhirnya dikeluarkan dari kantung yang bau itu. Sungguh sesak rasanya dan mau muntah tidak kuat menahan aroma yang tidak bersahabat dengan alat pernapasanku. Diluar sana aku melihat seorang manusia berperawakan sedang, berkumis dan berjenggot. Usianya mungkin sudah paruh baya. Lalu kemudian, “Ya Tuhan apa ini?” aku serasa dilecehkan. Aku dibolak-balikannya, dilihat-lihat dari atas, bawah, kanan, kiri, pokoknya dari setiap penjuru aku dilihati. Lalu setelah puas mengamatiku, kemudian ia mengambil pisau. “Ya Tuhan tolong aku” begitulah doaku, aku sadar aku hanya bisa diam dan berdoa. Dengan memperlihatkan sisinya yang tajam pisau itu mendekatiku. Orang itu dengan wajah yang kadang-kadang bingung dan kadang-kadang tersenyum mengiris-ngiris kulitku. “Ya, Tuhan sakit sekali, cobaan apa yang engkau timpakan kepadaku ini?” Aku hanya bisa menangis dan menjerit-jerit ketika kulitku terkelupas karena sayatan pisau.
Akhirnya berakhir juga penderitaanku ini. Orang itu sepertinya sudah puas memperlakukanku secara kejam. Dia pergi ke luar ruangan beberapa menit setelah jeritan terakhirku. Dalam keheningan di ruangan itu aku bertanya-tanya mengapa penderitaanku tidak berkesudahan. Aku jadi teringat dengan si botol, katanya setelah diambil dia akan dibersihkan. Aku jadi membayangkan saat ini dia sedang mandi dengan air yang segar sambil bernyanyi-nyanyi riang. Aku jadi mempertanyakan keadilan Tuhan, sungguh tak adil, mengapa dia begitu dimudahkannya sementara aku masih saja dalam kesulitan?
Kemudian lamunanku terhenti ketika ada suara pintu berdecit. Orang itu masuk lagi. Hatiku menjadi dag-dig-dug ketakutan. Orang itu menyambar diriku yang dari tadi di atas meja. Lalu dia mengambil kertas amplas dan menggosok-gosok diriku. Rasanya perih sekali. Orang itu seperti psikopat, wajahnya yang dingin tak memperdulikan kesakitanku. Seluruh diriku digosoknya, semua sisi tak ada yang terlewatkan. Sakit, sakit sekali, bisa-bisa seluruh tubuhku lecet semua. Akhirnya sepertinya orang itu sudah kelelahan. Aku yang masih kesakitan dibawanya keluar ruangan. Kemudian aku direbahkannya diatas lantai di bawah sinar matahari. Ya aku dijemurnya. Memang orang itu tak punya rasa kasihan, belum reda sakit yang tadi, sekarang ditambah lagi disengat sang surya. Kembali lagi aku menjerit-jerit tapi tak ada yang menghiraukanku. Panasnya sengatan matahari membuatku pusing, semuanya seperti berputar, menjadi redup lalu gelap. Ya siksaan ini sungguh kejam, menyiksa diriku sampai tak sadarkan diri.
Aku terbangun karena mencium aroma yang tak sedap. Bau apa ini?  dan rasanya terik matahari masih menerpa diriku.  Pelan-pelan ku buka mataku dan samar-samar kulihat ada seseorang. Aku kaget orang yang menyiksaku  sudah ada dihadapanku. Dan kedua tangannya seperti memegang sesuatu, ya tidak salah lagi itu kaleng berisi sesuatu yang bau yang membangunkanku tadi dan tangan yang satunya lagi memegang sebuah kuas. Wajahnya menyeringai, mungkin dia juga merasa kepanasan karena teriknya sinar matahari siang itu.
Mau apa lagi sih dia? Belum puaskah dia dari tadi menyiksaku? Lalu orang itu pun beraksi. Kuas yang ada ditangan kanannya dicelupkan ke kaleng lalu dengan kuas itu dia melumuriku. Ih baunya sungguh tak enak dan cairannya itu lengket menjijikan. Berkali-kali dia melumuriku dengan cairan itu, sampai-sampai aku kembali tak sadarkan diri karena tak kuat mencium bau yang menyiksa dan terik matahari yang  masih terus saja memanggangku.
Dalam keadaan pingsan aku bermimpi. Dalam mimpi itu aku menyalah-nyalahkan Tuhan. Mengatakan bahwa Dia tidak adil, tidak maha pengasih dan penyayang. Aku selalu ditimpa kesakitan, kemalangan, dan kesengsaraan.  Mengapa aku? Mengapa aku? Mengapa Tuhanku?
Ehm segar sekali, bau harum apa ini? aku siuman, mataku mulai membuka pelan-pelan. Ya Tuhan mengapa aku ada di sini? Ruangan ini begitu bersih dan harum. Aku melihat sekeliling ruangan, di sana sini terdapat berbagai macam benda cantik. Ada yang besar ada yang kecil, ada yang bergerak-gerak dan ada yang diam. Warna dan bentuknya pun bermacam-macam. Kulihat di dinding sebelah atas ada tulisan “Pengrajin Ornamen” dan dibawahnya ada foto wajah. Ya Tuhan itu wajah orang yang menyiksaku. Bagaimana bisa foto orang jahat itu ada di ruangan ini? Lalu pandanganku teralihkan ke cermin di samping diriku, Ya Tuhan siapakah itu? Cantik sekali? Bentuknya, warnanya sungguh indah? Tapi loh kok, apakah ini mungkin? Yang ada dihadapan cermin kan aku. Apakah yang ada di dalam cermin adalah diriku? Tapi bagaimana bisa? Lalu aku pun teringat pada kejadian-kejadian yang telah menimpaku. Dan aku tersadar kejadian-kejadian itulah yang telah membuatku menjadi sekarang ini. Aku pun menangis, tapi sekarang bukan menangis karena kesakitan, akan tetapi menangis karena bahagia. Terima kasih Tuhan Engkau telah mendengar doaku. Aku kemudian teringat pada orang yang kuanggap menyiksaku. Maafkan aku, aku telah salah sangka dan terima kasih wahai pak pengrajin. Aku kemudian menyebut orang itu pak pengrajin karena melihat tulisan di atas fotonya itu. Pak pengrajin, aku pikir bukan nama yang buruk, itu adalah nama dari ungkapan terima kasih karena telah bersedia peduli dan menolongku dari yang sebelumnya hanya sebuah kayu yang terbuang.

catatan : terima kasih telah membaca cerpen ini sampai selesai. Dan saya mohon saran dan kritiknya atas cerpen ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar