Aku memang
ornamen mahal. Ukuranku memang kecil tak lebih dari segenggam kepalan tangan
manusia dewasa, akan tetapi nilaiku lebih dari pada ukuranku. Ya kadang ukuran
fisik tak selalu jadi patokan. Yang membuatku mahal adalah keunikanku. Setahuku
tidak ada yang sama sepertiku. Terimakasih kepada pak pengrajin begitulah aku
menyebut pembuatku, telah membuatku menjadi seperti ini.
Tetapi apakah
kamu tahu seperti apa aku dulu? Dan bagaimana kejadiannya sampai aku bisa
dipajang di toko ini?
Kisahku bermula
dari tempat pemotongan kayu. Awalnya aku adalah seonggok kayu yang terbuang.
Aku adalah kayu tersisih, kayu sisa pemotongan yang tak terpakai. Memikirkan
bahwa aku adalah kayu yang terbuang, aku menjadi sangat sedih apalagi ketakutan
selalu menghantui pikiranku. Akankah aku
dijadikan kayu bakar, dibuat menjadi arang. Setiap hari pastinya aku akan
dibakar, “panas...,panas...” jeritku.
Berhari-hari aku
berada dalam bak sampah, diabaikan, diacuhkan. Pernah satu hari ada seseorang
yang melihat-lihat ke bak sampah. Aku mencoba
tersenyum ramah untuk menarik perhatiannya agar aku diambilnya. Akan
tetapi malah bukan aku yang diambilnya, tetapi botol plastik minuman yang
diambilnya. Padahal botol itulah yang menemaniku beberapa jam yang lalu. Ia
menceritakan bahwa ia tak akan lama di sini. Ia dengan percaya diri mengatakan
bahwa dia pasti tidak akan disia-siakan di dalam bak sampah ini. Ia akan
didaurulang dan menjadi bersih kembali, begitu katanya. Benar saja apa yang
dikatakan benar-benar terjadi. Orang itu hanya peduli pada botol plastik tak
peduli sama sekali padaku. Aku kembali sendirian dalam bak sampah ini. Sedih
rasanya. Aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan mohon agar diberi kesabaran dan
ketabahan dalam menghadapi cobaan-Nya ini.
Hingga pada suatu
ketika aku mendengar ada orang yang bercakap-cakap di luar sana. “Pak, boleh
minta kayu sisa, yang tidak terpakai lagi?” , “Coba cari aja di bak sampah”
Begitulah percakapan yang terjadi diluar sana. Tiba-tiba ada tangan besar yang
mencengkram diriku. Aku kaget mau berontak tak bisa. Di satu sisi aku senang
karena ada yang mempedulikanku, akan tetapi di sisi lain aku takut karena
jangan-jangan aku akan dijadikan arang untuk membakar sate. Aku akan terus dibakar
sampai gosong dan sirna, begitulah rasa was-was menyelimutiku. Oleh tangan
besar itu aku dimasukkan ke dalam kantung plastik hitam. Aku mencoba
menjerit-jerit tapi tak ada yang mendengarkanku, kemudian aku mencoba
meronta-ronta tapi tak bisa. Di dalam kantung itu, aku hanya bisa diam dan
pasrah mengikuti alur nasibku ini.
Aku akhirnya
dikeluarkan dari kantung yang bau itu. Sungguh sesak rasanya dan mau muntah
tidak kuat menahan aroma yang tidak bersahabat dengan alat pernapasanku. Diluar
sana aku melihat seorang manusia berperawakan sedang, berkumis dan berjenggot.
Usianya mungkin sudah paruh baya. Lalu kemudian, “Ya Tuhan apa ini?” aku serasa
dilecehkan. Aku dibolak-balikannya, dilihat-lihat dari atas, bawah, kanan,
kiri, pokoknya dari setiap penjuru aku dilihati. Lalu setelah puas mengamatiku,
kemudian ia mengambil pisau. “Ya Tuhan tolong aku” begitulah doaku, aku sadar
aku hanya bisa diam dan berdoa. Dengan memperlihatkan sisinya yang tajam pisau
itu mendekatiku. Orang itu dengan wajah yang kadang-kadang bingung dan
kadang-kadang tersenyum mengiris-ngiris kulitku. “Ya, Tuhan sakit sekali,
cobaan apa yang engkau timpakan kepadaku ini?” Aku hanya bisa menangis dan
menjerit-jerit ketika kulitku terkelupas karena sayatan pisau.
Akhirnya berakhir
juga penderitaanku ini. Orang itu sepertinya sudah puas memperlakukanku secara
kejam. Dia pergi ke luar ruangan beberapa menit setelah jeritan terakhirku.
Dalam keheningan di ruangan itu aku bertanya-tanya mengapa penderitaanku tidak
berkesudahan. Aku jadi teringat dengan si botol, katanya setelah diambil dia
akan dibersihkan. Aku jadi membayangkan saat ini dia sedang mandi dengan air
yang segar sambil bernyanyi-nyanyi riang. Aku jadi mempertanyakan keadilan
Tuhan, sungguh tak adil, mengapa dia begitu dimudahkannya sementara aku masih
saja dalam kesulitan?
Kemudian
lamunanku terhenti ketika ada suara pintu berdecit. Orang itu masuk lagi.
Hatiku menjadi dag-dig-dug ketakutan. Orang itu menyambar diriku yang dari tadi
di atas meja. Lalu dia mengambil kertas amplas dan menggosok-gosok diriku.
Rasanya perih sekali. Orang itu seperti psikopat, wajahnya yang dingin tak
memperdulikan kesakitanku. Seluruh diriku digosoknya, semua sisi tak ada yang
terlewatkan. Sakit, sakit sekali, bisa-bisa seluruh tubuhku lecet semua. Akhirnya
sepertinya orang itu sudah kelelahan. Aku yang masih kesakitan dibawanya keluar
ruangan. Kemudian aku direbahkannya diatas lantai di bawah sinar matahari. Ya
aku dijemurnya. Memang orang itu tak punya rasa kasihan, belum reda sakit yang
tadi, sekarang ditambah lagi disengat sang surya. Kembali lagi aku
menjerit-jerit tapi tak ada yang menghiraukanku. Panasnya sengatan matahari
membuatku pusing, semuanya seperti berputar, menjadi redup lalu gelap. Ya
siksaan ini sungguh kejam, menyiksa diriku sampai tak sadarkan diri.
Aku terbangun
karena mencium aroma yang tak sedap. Bau apa ini? dan rasanya terik matahari masih menerpa
diriku. Pelan-pelan ku buka mataku dan
samar-samar kulihat ada seseorang. Aku kaget orang yang menyiksaku sudah ada dihadapanku. Dan kedua tangannya
seperti memegang sesuatu, ya tidak salah lagi itu kaleng berisi sesuatu yang
bau yang membangunkanku tadi dan tangan yang satunya lagi memegang sebuah kuas.
Wajahnya menyeringai, mungkin dia juga merasa kepanasan karena teriknya sinar
matahari siang itu.
Mau apa lagi sih
dia? Belum puaskah dia dari tadi menyiksaku? Lalu orang itu pun beraksi. Kuas
yang ada ditangan kanannya dicelupkan ke kaleng lalu dengan kuas itu dia
melumuriku. Ih baunya sungguh tak enak dan cairannya itu lengket menjijikan.
Berkali-kali dia melumuriku dengan cairan itu, sampai-sampai aku kembali tak
sadarkan diri karena tak kuat mencium bau yang menyiksa dan terik matahari
yang masih terus saja memanggangku.
Dalam keadaan
pingsan aku bermimpi. Dalam mimpi itu aku menyalah-nyalahkan Tuhan. Mengatakan
bahwa Dia tidak adil, tidak maha pengasih dan penyayang. Aku selalu ditimpa
kesakitan, kemalangan, dan kesengsaraan.
Mengapa aku? Mengapa aku? Mengapa Tuhanku?
Ehm segar sekali,
bau harum apa ini? aku siuman, mataku mulai membuka pelan-pelan. Ya Tuhan
mengapa aku ada di sini? Ruangan ini begitu bersih dan harum. Aku melihat
sekeliling ruangan, di sana sini terdapat berbagai macam benda cantik. Ada yang
besar ada yang kecil, ada yang bergerak-gerak dan ada yang diam. Warna dan
bentuknya pun bermacam-macam. Kulihat di dinding sebelah atas ada tulisan
“Pengrajin Ornamen” dan dibawahnya ada foto wajah. Ya Tuhan itu wajah orang
yang menyiksaku. Bagaimana bisa foto orang jahat itu ada di ruangan ini? Lalu
pandanganku teralihkan ke cermin di samping diriku, Ya Tuhan siapakah itu?
Cantik sekali? Bentuknya, warnanya sungguh indah? Tapi loh kok, apakah ini
mungkin? Yang ada dihadapan cermin kan aku. Apakah yang ada di dalam cermin
adalah diriku? Tapi bagaimana bisa? Lalu aku pun teringat pada
kejadian-kejadian yang telah menimpaku. Dan aku tersadar kejadian-kejadian
itulah yang telah membuatku menjadi sekarang ini. Aku pun menangis, tapi
sekarang bukan menangis karena kesakitan, akan tetapi menangis karena bahagia.
Terima kasih Tuhan Engkau telah mendengar doaku. Aku kemudian teringat pada
orang yang kuanggap menyiksaku. Maafkan aku, aku telah salah sangka dan terima
kasih wahai pak pengrajin. Aku kemudian menyebut orang itu pak pengrajin karena
melihat tulisan di atas fotonya itu. Pak pengrajin, aku pikir bukan nama yang
buruk, itu adalah nama dari ungkapan terima kasih karena telah bersedia peduli
dan menolongku dari yang sebelumnya hanya sebuah kayu yang terbuang.
catatan : terima kasih telah membaca cerpen ini sampai selesai. Dan saya mohon saran dan kritiknya atas cerpen ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar